Jumat, 12 April 2013

tugas

-->
Kejahatan Ditinjau Dari Perspektif  Sosiologi
Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
1.Strain Theories (Teori-teori Strain)
2.Cultural Deviance (Penyimpanan Budaya)
3.Social Control (Kontrol Sosial)
Teori Strain dan penyimpangan budaya memusatkan pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktifitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol  sosial mempunyai pendekatan berbeda, teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
Strain Theories (Teori-Teori Strain)
Satu cara dalam mempelajari masyarakat adalah dengan melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Masyarakat seperti ini ditandai oleh kepaduan, kerja sama, dan kesepakatan, namun juga bagian-bagian komponennya tertata dalam keadaan yang membahayakan keteraturan-keteraturan sosial, susunan masyarakat itu dysfunctional (tidak berfungsi).
Durkheim meyakini bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju satu masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan seperangkat norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah, dan dalam ketiadaan seperangkat aturan-aturan umum, tindakan-tindakan harapan dari satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan tidak diprediksimya perilaku, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomie.
Konsep terbaik durkheim tentang bunuh diri (suicide), dikatakan bahwa angka bunuh diri meninkat selama perubahan ekonomi (sudden economic change) yang tiba-tiba, baik perubahan itu depresi hebat ataupun kemakmuran yang tidak terduga. Dalam perubahan yang cepat itu orang tiba-tiba terhembus kedalam satu jalan hidup yang tidak dikenal (unfamiliar), aturan-aturan (rules) yang membimbing tingkah laku tidak lagi dipegang.
Tidaklah sulit dimengerti mengapa dalam keadaan kejatuhan ekonomi dengan tiba-tiba angka bunuh diri meningkat, tetapi mengapa orang akan jatuh dalam keputusan seperti itu ketika terjadi kemakmuran yang mendadak. Menurutnya faktor-faktor yang sama telah bekerja dalam kedua situasi itu. Bukanlah jumlah uang yang ada menyebabkan hal ini, melainkan sudden change (perubahan mendadak). Orang yang tiba-tiba mendapatkan kekayaan lebih banyak  dari mereka yang pernah impikan memiliki kecenderungan meyakini bahwa tiada satupun yang mustahil.
Durkheim mempercayai bahwa hasrat-hasrat manusia adalah tak terbatas, satu “instiable and bottomless abyss” (jurang yang tak pernah puas dan tak berdasar). Karena alam tidak mengatur batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia sebagaimana ia mengatur makhluk lain seperti, binatang-binatang, menurut Durkheim, kita telah mengembangkan aturan-aturan sosial yang meletakkan suatu takaran yang realistis diatas aspirasi-aspirasi kita. Aturan-aturan ini menyatu dengan kesadaran individu dan membuatnya merasa terpenuhi. Akan tetapi, dengan satu ledakan kemakmuran yang tiba-tiba, harapan-harapan orang menjadi berubah. Manakala aturan-aturan lama tidak lagi menentukan bagaimana ganjaran atau peghargaan didistribusikan kepada anggota-anggota masyarakat itu, maka disana sudah tidak ada lagi pengekang atau pengendali atas apa yang orang lain inginkan. Sekali lagi sistem itu menjadi runtuh. Jadi, “whether sudden change chauses great prosperity or a great depression, the result is the same-anomie”.
Strain Theory: Robert K. Merton
Robert Merton juga mengaitkan dengan anomi, bedanya dengan Durkheim adalah bahwa tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan sosial yang cepat) melainkan oleh social structure (struktur sosial) yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk mencapainya. Kekurang paduan antara apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang mencegahnnya memperoleh kesuksesan), dapat menyebabkan  norma-norma runtuh karena tidak lagi efektif untuk membimbing tingkah laku. Merton meminjam istilah “anomi” guna menjelaskan keruntuhan system norma.
Berdasarkan perspektif diatas, struktur sosial merupakan akar masalah kejahatan (karena itu kadang-kadang pendekatan itu disebut a structural explanation) Strain teori ini berasumsi bahwa orang itu data hukum, tetapi di bawah tekanan besar mereka akan melakukan kejahatan, disparitas  antara tujuan sarana inilah yang yang memberikan tekanan tadi. Semua orang dalam masyarakat memiliki tujuan-tujan yang sama (meraih kemakmuran dalam arti kekayaan). Dia katakan bahwa kekurangan bagi setiap orang ntuk mencapai tujuan-tujuan material dapat menciptakan masalah, demikian juga tingginya angka penyimpangan tidak dapat semata-mata atas dasar  kekurangan sarana-sarana tadi.
Menurut Merton, didalam suatu masyarakat yang berorientasi kelas, kesempatan untuk menjadi yang teratas tidaklah dibagikan secara merata. Sangat sedikit anggota kelas bawah mencapainya. Teori anomi dan merton menekankan pentingnya dua unsur penting disetiap masyarakat, yaitu: (1) cultural aspiration atau cultural goals yang diyakini berharga untuk diperjuangkan, dan (2) institutionilized means atau accepted ways untuk mencapai tujuan itu. Jika suatu masyarakat stabil, dua unsur ini akan terintegrasi, dengan kata lain sarana harus ada bagi setiap individu guna mencapai tujuan-tujuan yang berharga bagi mereka. Disparity between goals and means fosters frustation, which leads to strain.
Meski merton berpendapat bahwa kekurangan legitimate means bagi setiap orang untuk mencapai tujuan-tujuan material dapat menciptakan masalah, dia juga berpendapat tingginya angka penyimpangan tidak dapat semata mata dijelaskan atas dasar kekurangan sarana-sarana tadi. Amerika Serikat dalam pandangan Merton, merupakan  suatu masyarakat yang “unusual”, bukan semata-mata karena budaya telah menempatkan penekanan yang luar biasa pada sukses secara ekonomi, tetapi juga karena tujuan itu universal sifatnya, ditawarkan pada setiap orang yang dapat mencapainya. Orang-orang miskin tidak diajarkan untuk menerima saja apa yang tersedia bagi merika, tapi justru diajarkan untuk mengejar “American Dream”, melalui kerja keras mereka diajarkan bahwa yang termiskin sekalipun dapat mencapai posisi teratas.
Pertanyaannya, mengapa keinginan untuk meningkat secara sosial (social mobility) tadi membawa kepada penyimpangan? Masalahnya, menurut Merton adalah struktur sosial yang membatasi akses menuju tujuan (berupa kesuksesan) melalui legitimate means  (sepertib pendidikan tinggi, bekerja keras, koneksi keluarga). Anggota-anggota dari kelas bawah khususnya terbebani sebab mereka memulai jauh dibelakang dalam lomba meraih sukses tersebut dan mereka benar-benar haruslah orang yang sangat berbakat (tallented) atau sangat beruntung untuk mencapainya. Kesejangan antara apa yang diharapkan oleh budaya (yaitu sukses) dan apa yang dimungkinkan oleh struktur sosial (yaitu legitimate means yang terbatas) menempatkan bagian terbesar populasai Amerika dalam keadaan Strain menimbulkan posisi menginginkan suatu tujuan yang tidak dapat dicapai melalui sarana sarana konvensional. Situasi ini, dalam kesimpulan merton, bukannya tanpa konsekuen sosial. Menurut Merton: “it produces intences pressure for deviation”.
Merton menyadari bahwa kebanyakan orang, meskipun mereka memiliki saran yang terbatas tidak melakukan penyimpangan. Mereka menyesuaikan diri, melanjutkan mencapai tujuan  budaya berupa kesuksesan, dan percaya atas legitimasi sarana-sarana konvensional atau institutional menas dengan mana sukses akan dicapai. Ini merupakan mode  adaptasi pertama yaitu conformity Kritik terhadap  Strain Theory:
1. Terlalu berkonsentrasi pada kejahatan ditingkat bawah secara hierarki ekonomi, teori ini melalaikan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan menengah dan atas.
2. Bagaimana mungkin suatu masyarakat yang sangat heterogen seperti Amerika Serikat memiliki tujuan-tujuan yang disepakati setiap orang.
3. Banyak juga orang-orang dimasyarakat lain diluar Amerika Serikat yang mempunyai sarana terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan material tetapi mempunyai angka kejahatan yang terendah, contohnya dua negara berkembang dan industri yaitu Jepang dan Swiss.
Modes of Adaptions
Menurut Merton ada beberapa cara yang berbeda bagi anggota masyarakat untuk memecahkan atau mengatasi strain (ketegangan atau tekanan) yang dihasilkan dari    ketidak mampuan mencapai sukses. Untuk mengkonseptualisasi respon-respon yang bisa terjadi tadi, Merton mengembangkan tipologi atau mode-mode adaptasi. Merton menyadari bahwa kebanyakan orang, meskipun mereka memiliki sarana yang terbatas tidak melakukan penyimpangan. Banyak orang tidak melakukan penyimpangan. Mereka menyesuaikan diri, melanjutkan mencapai tujuan budaya berupa kesuksesan, dan percaya atas legitimasi sarana-sarana konvensional atau institutionalised means dengan mana sukses akan dicapai. Ini merupakan mode adaptasi pertama yaitu conformity.
Merton menggambarkan empat mode adaptasi yang menyimpang. Kebanyakan tingkah laku kriminal, menurut Merton, dapat dikategorikan sebagai innovation, karena adaptasi ini mencakup mereka yang tetap meyakini sukses yang dianggap berharga itu namun beralih menggunakan illegitimate means atau sarana-sarana yang tidak sah jika mereka menemui dinding atau halangan terhadap sarana yang sah untuk menemui sukses ekonomi tersebut. Pada sisi yang berlawanan, orang beradaptasi secara ritualism terlihat menyesuaikan diri (conformity) dengan norma-norma yang mengatur institutionalised means. Meski demikian, mereka meredakan ketegangan atau tekanan mereka dengan menurunkan skala aspirasi-aspirasi mereka sampai di titik yang mereka dapat capai dengan mudah. Dibanding mengejar tujuan budaya tentang kesuksesan, mereka justru berusaha menghindari resiko dan hidup dalam batas-batas rutinitas hidup sehari-hari.
Retreatism, pada sisi lain, membuat respon yang lebih dramatis. Tertekan oleh harapan-harapan sosial yang ditunjukkan oleh gaya hidup konvensional, mereka melepaskan kesetiaan baik kepada cultural socces goal maupun kepada legitimasi means. Mereka merupakan orang-orang yang “are in society but not of it”. Mereka melarikan diri dari syarat-syarat masyarakat dengan berbagai cara yang menyimpang, misalnya: alcoholism, drug addictions, psychosis, atau vragancy (menggelandang atau mengembara). Bunuh diri tentu saja merupakan penarikan diri paling puncak. Akhirnya, Merton menamai adaptasi terakhir dengan Rebellion yaitu adaptasi orang-orang yang tidak hanya menolak tetapi juga berkeinginan untuk mengubah sistem yang ada. Terasing dari tujuan yang berlaku dan ukuran-ukuran normatif, mereka mengajukan penggantian dengan satu perangkat tujuan-tujuan dan sarana-sarana baru. Dalam masyarakat Amerika contoh dari rebellion mungkin bisa disebut kalangan sosalis yang lebih memilih sukses kelompok dibanding sukses individual dan dengan suatu norma yang mengarahkan distribusi kekayaan secara merata dan sesuai kebutuhan dibandingkan sukses distribusi yang tidak merata dan sesuai dengan hasil dari kompetisi yang kejam.
Pengertian penjahat dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya:
a.  Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek yuridis merupakan seseorang yang melanggar peraturan atau undang-undang  pidana telah diputus oleh pengadilan atas pelanggarannya dan telah dijatuhi hukuman,dan dalam hukum pidana dikenal dengan istilah narapidana. Selama belum dijatuhi hukuman, seseorang belum dianggap sebagai penjahat. Asas ini disebut  Presumption of innocent  (asas praduga tak bersalah). 
b. Penjahat  atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek ekonomi, menurut Person, Penjahat merupakan orang yang mengancam kehidupan dan kebahagiaan orang lain  dan membebankan ekonominya pada masyarakat sekelilingnya.
c. Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek sosial, menurut Mabel Elliot, penjahat merupakan orang-orang yang gagal dalam menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat sehingga tingkah lakunya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat.
d. Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek religius, J. E. Sahepaty, mengatakan bahwa penjahat adalah orang-orang yang berkelakuan antisosial, perbuatannya bertentangan dengan norma-norma kemasyarakatan dan agama serta merugikan dan mengganggu ketertiban umum. Sedangkan menurut Socrates, dilihat dari aspek filsafatnya, penjahat merupakan orang-orang yang suka melakukan perbuatan bohong (pembohong).
Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi positif, dengan asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan penjahat, perbedaannnya ada pada aspek biologik, psikologis, maupun sosio-kultural. Oleh karena itu dalam mencari sebab-sebab kejahatan  dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana, dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologiknya (determinis biologik) dan aspek kultural (determinis cultural). Keberatan utama  terhadap kriminologi positif, bukan saja asumsi dasar tersebut tidak pernah terbukti, akan tetapi juga karena kejahatan adalah kontruksi sosial.
Dalam hal ini, dapat kita lihat pelaku kejahatan disini terdapat 2 (dua) cara yaitu: Dapat dimulai berdasarkan motif si pelaku atau berdasarkan sifat-sifat si pelaku. Untuk dua cara tersebut di atas diperlukan suatu penelitian yang mendalam terhadap si pelaku, baik sifat-sifat maupun motif perbuatannya tidak dapat disimpulkan berdasarkan apa yang tampak keluar. Pembagian berdasarkan tipe-tipe si pelaku, dimana tidak selalu dipisahkan kriteria sifat dan motifnya si pelaku.
Beberapa klasifikasi dari si pelaku dikemukakan dibawah ini:
         Berdasarkan Penelitiannya, Lambrosso mengklasifikasikan Pelaku kejahatan dengan 4 (empat golongan) :
         Born Criminal, yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme, yaitu adanya sifat hewani yang diturunkan oleh nenek moyang manusia.
         Insane Criminal, yaitu orang-orang yang tergolong kelompok idiot, embisil atau paranoid.
         Occasional Crminal atau Criminoloid, yaitu pelaku kejahatan berdasarkan pengalaman yang terus-menerus sehingga mempengaruhi pribadinya.
         Criminal of Passion, yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya karena marah, cinta, atau karena kehormatan.
         Dalam bukunya Criminology, Ruth Shonle Cavan, membedakan tipe-tipe penjahat dalam 9 (sembilan) jenis yaitu: penjahat-penjahat ringan dan iseng yang disebut Casual Offender dan Occasional Criminal. Juga untuk tipe penjahat dari kelas pejahat, yang menyalah gunakan jabatannya disebut The white Collar Crime. Dan terakhir dari tipe orang-orang yang mengandalkan mata pencahariannya dari kejahatan yang disebut The Professional Criminal dan Organized Criminal.
         Ajaran tipe dari Mayhew dan Moreau, yang membedakan: Para penjahat Profesional yang menghabiskan masa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan kriminal, dan para penjahat Accidental yaitu yang melakukan kejahatan sebagai akibat situasi lingkungan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Para penjahat yang ter5biasa yang terus-menerus melakukan kejahatan karena kurangnya pengendalian diri.
         Ajaran tipe dari Lindesmith dan Dunham, membedakan: Para pelaku Individual yang bekerja atas alasan pribadi tanpa dukungan budaya, para sosial yang didukung oleh norma kelompok tertentu dan dengan kejahatannya memperoleh status dan penghargaan dari kelompoknya.
         Ajaran dari tipe Gibbons dan Garrity, yang membedakan antara kelompok penjahat yang seluruhnya orientasi hidupnya dituntun oleh kelompok pelanggar hukum dan kelompok penjahat yang orientasi hidupnya sebagian besar ditunjang dan dibimbing oleh kelompok bukan pelanggar hukum.
         Ajaran tipe dari Walter C.Recless,yang membedakan kedalam penjahat biasa, penjahat  terorganisir, dan penjahat profesional. Ketiga tipe ini mempunyai persamaan yaitu pada umumnya cenderung menyangkut para peserta dalam kejahatan berkelompok atau menggatung seseorang sampai mati tanpa melalui proses pengadilan.
         Pembagian dari Sellig dengan pangkal tolak bahwa suatu kejahatan dilakukan akibat dari ciri watak si pelaku (Disposisinya) atau dari suatu kejadian psikis, langsung menjelang atau selama dilakukannya perbuatan itu (kejadian senyatanya). Oleh karena itu, pembagian ini secara ketat, tidak memiliki kesatuan pangkal tolak. Selanjutnya Sellig dan Windler berpendapat bahwa para penjahat biologis (mereka yang berciri fisik dan psikis) merupakan sekelompok manusia hiterogen yang beraneka warna, yang tidak memiliki kebersamaan ciri biologis. Hal ini mengakibatkan pembagian sebagai berikut: Penjahat profesional yang malas bekerja, mereka terus melakukan kejahatan untuk menggantikan cara kerja yang normal. Kemalasan mereka bekerja sangat menonjol dan cara hidup mereka asosial. Termasuk dalam kelompok ini ialah para penjahat profesional dan para penjahat karena kebiasaan serta penjahat-penjahat kecil yang malas bekerja (para pengembara jalanan, para gelandangan, dan pelacur), para penjahat terhadap harta benda karena daya tahan mereka yang lemah, lazimnya mereka dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat, bekerja secara normal, dan acap kali pekerja yang cakap dan rajin. Namun mereka sulit menolak godaan dunia luar, juga yang muncul dalam pekerjaan mereka.
         Ajaran tipe dari Capelli penggolongan kejahatan itu terjadi karena:
         Faktor-faktor psikopatis dengan para pelaku:
         Orang-orang sinting
         Bukan Orang-orang sinting yang psikis abnormal
         Faktor-faktor organis dengan para pelaku:
         Orang-orang  yang menderita gangguan organis yang menimpa mereka pada usia lanjut dan beberapa macam orang invalid atau orang cacat
         Orang-orang yang menderita gangguan organis sejak lahir atau sejak masih kecil, yang menyulitkan pendidikan atau penyesuaian sosial mereka (para tuna rungu dan yang buta).
         Faktor-faktor sosial dengan para pelaku:
         Para pelaku karena kebiasaan
         Para pelaku karena kesempatan (karena kesulitan ekonomi atau fisik)
         Para pelaku yang secara kebetulan melakukan kejahatan pertama, kemudian melakukan kejahatan yang lebih besar atau suatu seri kejahatan kecil, sifat dari kejahatan harta benda bergantung selanjutnya dari pekerjaan: pencurian oleh para pekerja dan pembantu rumah tangga, penggelapan oleh personil administrasi dan para pegawai, perbuatan curang pada pekerjaan paramedis, dan pada akhirnya terlepas dari semua pekerjaan, menahan barang-barang yang ditemukan sebagai pemiliknya sendiri.
         Para penjahat karena nafsu agresif, mereka mudah tersinggung sehingga berbuat agresif (penganiayaan) atau mengungkapkan secara lisan atau tulisan (penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan nama).
         Para penjahat karena ketiadaan penguasaan diri secara seksual, termasuk dalam kelompok ini hanya mereka yang perbuatanya langsung memuaskan nafsu seksual atau hawa nafsu oleh karena mereka tidak  mampu menguasai diri mereka.
Pengertian Korban
Dalam setiap kejahatan terdapat pihak yang dirugikan baik secara material maupun immaterial, dikatakan mengalami kerugian material apabila didalam perstiwa kejahatan tersebut ada pihak yang hartanya berkurang ataupun hilang sama sekali, dan dikatakan immaterial apabila didalam peristiwa itu ada pihak yang mengalami shock karena telah mengalami peristiwa diluar dugaannya, dengan kata lain tidak berbentuk benda. Dalam hal tersebut  penderita kerugian biasa disebut sebagai korban. Selain korban, keluaga korban juga termasuk pihak yang ikut merasakan kerugian, terlebih-lebih lagi apabila korban mengalami penganiayaan yang berujung kematian.
Sebagai pihak yang mengalami kerugian seharusnyalah ada perhatian terhadap korban, dan menjaga agar semua masyarakat terutama korban agar lebih mendapatkan perlindungan, karena tidak  jarang kita mendengar beberapa orang disekitar kita yang mengalami pencurian atau penjambretan dan lainnya mengalami untuk kedua kalinya terhadap kejahatan yang serupa. Situasi dan kondisi pihak korban dapat merangsang pelaku untuk melakukan suatu kejahatan kepada seseorang. Daerah rawan umumnya adalah tempat-tempat yang ramai berdesakan, tempat-tempat yang sunyi dan minim penerangan, serta tempat-tempat yang kurangnya penjagaan. Kejahatan memang merupakan hal yang harus ada dan tidak bisa dihilangkan, akan tetapi usaha pencegahan dalam rangka menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut haruslah tetap dilakukan agar tercipta ketentraman dan keamanan dalam masyarakat. Didalam Undang-Undang perlindungan Saksi dan Korban, pada pasal 1 butir  kedua bahwa korban dinyatakan sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pengertian keluaga korban pada butir yang kelima menurut undang-undang ini adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus, atau mempunyai hubungan darah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga, atau mempunyai hubungan perkawinan.
Sedangkan didalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada pasal 1 butir ketiga, korban diartikan sebagai orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga, dengan korban dan atau yang menjadi tanggungan saksi dan atau korban. Keluarga korban hanya disebutkan tentang orang-orang yang menjadi kelurga korban dan yang menjadi tanggungan korban, yang juga mencakup orang-orong yang mengalami kerugian karena mencegah terjadinya kejahatan tersebut.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar