Kejahatan
Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi
Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
1.Strain Theories (Teori-teori Strain)
2.Cultural
Deviance (Penyimpanan Budaya)
3.Social Control (Kontrol Sosial)
Teori Strain dan penyimpangan budaya
memusatkan pada kekuatan-kekuatan sosial (social
forces) yang menyebabkan orang melakukan aktifitas kriminal. Sebaliknya,
teori kontrol sosial mempunyai
pendekatan berbeda, teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan
kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori
kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan
kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan
lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.
Strain
Theories (Teori-Teori Strain)
Satu cara dalam mempelajari
masyarakat adalah dengan melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha
mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Masyarakat
seperti ini ditandai oleh kepaduan, kerja sama, dan kesepakatan, namun juga
bagian-bagian komponennya tertata dalam keadaan yang membahayakan
keteraturan-keteraturan sosial, susunan masyarakat itu dysfunctional (tidak
berfungsi).
Durkheim meyakini bahwa jika sebuah
masyarakat sederhana berkembang menuju satu masyarakat yang modern dan kota
maka kedekatan (intimacy) yang
dibutuhkan untuk melanjutkan seperangkat norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi
terpisah-pisah, dan dalam ketiadaan seperangkat aturan-aturan umum,
tindakan-tindakan harapan dari satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan
dan harapan orang lain. Dengan tidak diprediksimya perilaku, sistem tersebut
secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomie.
Konsep terbaik durkheim tentang
bunuh diri (suicide), dikatakan bahwa
angka bunuh diri meninkat selama perubahan ekonomi (sudden economic change) yang tiba-tiba, baik perubahan itu depresi
hebat ataupun kemakmuran yang tidak terduga. Dalam perubahan yang cepat itu
orang tiba-tiba terhembus kedalam satu jalan hidup yang tidak dikenal (unfamiliar), aturan-aturan (rules) yang
membimbing tingkah laku tidak lagi dipegang.
Tidaklah sulit dimengerti mengapa
dalam keadaan kejatuhan ekonomi dengan tiba-tiba angka bunuh diri meningkat,
tetapi mengapa orang akan jatuh dalam keputusan seperti itu ketika terjadi
kemakmuran yang mendadak. Menurutnya faktor-faktor yang sama telah bekerja
dalam kedua situasi itu. Bukanlah jumlah uang yang ada menyebabkan hal ini,
melainkan sudden change (perubahan
mendadak). Orang yang tiba-tiba mendapatkan kekayaan lebih banyak dari mereka yang pernah impikan memiliki
kecenderungan meyakini bahwa tiada satupun yang mustahil.
Durkheim mempercayai bahwa
hasrat-hasrat manusia adalah tak terbatas, satu “instiable and bottomless abyss” (jurang yang tak pernah puas dan
tak berdasar). Karena alam tidak mengatur batas-batas biologis yang ketat untuk
kemampuan manusia sebagaimana ia mengatur makhluk lain seperti,
binatang-binatang, menurut Durkheim, kita telah mengembangkan aturan-aturan
sosial yang meletakkan suatu takaran yang realistis diatas aspirasi-aspirasi
kita. Aturan-aturan ini menyatu dengan kesadaran individu dan membuatnya merasa
terpenuhi. Akan tetapi, dengan satu ledakan kemakmuran yang tiba-tiba,
harapan-harapan orang menjadi berubah. Manakala aturan-aturan lama tidak lagi menentukan
bagaimana ganjaran atau peghargaan didistribusikan kepada anggota-anggota
masyarakat itu, maka disana sudah tidak ada lagi pengekang atau pengendali atas
apa yang orang lain inginkan. Sekali lagi sistem itu menjadi runtuh. Jadi, “whether sudden change chauses great
prosperity or a great depression, the result is the same-anomie”.
Strain
Theory: Robert K. Merton
Robert Merton juga mengaitkan dengan
anomi, bedanya dengan Durkheim adalah bahwa tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan sosial
yang cepat) melainkan oleh social
structure (struktur sosial) yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk
mencapainya. Kekurang paduan antara apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang
mencegahnnya memperoleh kesuksesan), dapat menyebabkan norma-norma runtuh karena tidak lagi efektif
untuk membimbing tingkah laku. Merton meminjam istilah “anomi” guna menjelaskan keruntuhan system norma.
Berdasarkan perspektif diatas,
struktur sosial merupakan akar masalah kejahatan (karena itu kadang-kadang
pendekatan itu disebut a structural
explanation) Strain teori ini berasumsi bahwa orang itu data hukum, tetapi
di bawah tekanan besar mereka akan melakukan kejahatan, disparitas antara tujuan sarana inilah yang yang
memberikan tekanan tadi. Semua orang dalam masyarakat memiliki tujuan-tujan
yang sama (meraih kemakmuran dalam arti kekayaan). Dia katakan bahwa kekurangan
bagi setiap orang ntuk mencapai tujuan-tujuan material dapat menciptakan
masalah, demikian juga tingginya angka penyimpangan tidak dapat semata-mata
atas dasar kekurangan sarana-sarana
tadi.
Menurut Merton, didalam suatu
masyarakat yang berorientasi kelas, kesempatan untuk menjadi yang teratas
tidaklah dibagikan secara merata. Sangat sedikit anggota kelas bawah
mencapainya. Teori anomi dan merton menekankan
pentingnya dua unsur penting disetiap masyarakat, yaitu: (1) cultural aspiration atau cultural goals yang diyakini berharga
untuk diperjuangkan, dan (2) institutionilized
means atau accepted ways untuk
mencapai tujuan itu. Jika suatu masyarakat stabil, dua unsur ini akan
terintegrasi, dengan kata lain sarana harus ada bagi setiap individu guna
mencapai tujuan-tujuan yang berharga bagi mereka. Disparity between goals and means fosters frustation, which leads to
strain.
Meski merton berpendapat bahwa
kekurangan legitimate means bagi
setiap orang untuk mencapai tujuan-tujuan material dapat menciptakan masalah,
dia juga berpendapat tingginya angka penyimpangan tidak dapat semata mata
dijelaskan atas dasar kekurangan sarana-sarana tadi. Amerika Serikat dalam
pandangan Merton, merupakan suatu
masyarakat yang “unusual”, bukan
semata-mata karena budaya telah menempatkan penekanan yang luar biasa pada
sukses secara ekonomi, tetapi juga karena tujuan itu universal sifatnya,
ditawarkan pada setiap orang yang dapat mencapainya. Orang-orang miskin tidak
diajarkan untuk menerima saja apa yang tersedia bagi merika, tapi justru
diajarkan untuk mengejar “American Dream”,
melalui kerja keras mereka diajarkan bahwa yang termiskin sekalipun dapat
mencapai posisi teratas.
Pertanyaannya, mengapa keinginan
untuk meningkat secara sosial (social
mobility) tadi membawa kepada penyimpangan? Masalahnya, menurut Merton
adalah struktur sosial yang membatasi akses menuju tujuan (berupa kesuksesan)
melalui legitimate means (sepertib pendidikan tinggi, bekerja keras,
koneksi keluarga). Anggota-anggota dari kelas bawah khususnya terbebani sebab
mereka memulai jauh dibelakang dalam lomba meraih sukses tersebut dan mereka
benar-benar haruslah orang yang sangat berbakat (tallented) atau sangat beruntung untuk mencapainya. Kesejangan
antara apa yang diharapkan oleh budaya (yaitu sukses) dan apa yang dimungkinkan
oleh struktur sosial (yaitu legitimate
means yang terbatas) menempatkan bagian terbesar populasai Amerika dalam
keadaan Strain menimbulkan posisi menginginkan suatu tujuan yang tidak dapat
dicapai melalui sarana sarana konvensional. Situasi ini, dalam kesimpulan
merton, bukannya tanpa konsekuen sosial. Menurut Merton: “it produces intences pressure for deviation”.
Merton menyadari bahwa kebanyakan
orang, meskipun mereka memiliki saran yang terbatas tidak melakukan
penyimpangan. Mereka menyesuaikan diri, melanjutkan mencapai tujuan budaya berupa kesuksesan, dan percaya atas
legitimasi sarana-sarana konvensional atau institutional menas dengan mana
sukses akan dicapai. Ini merupakan mode
adaptasi pertama yaitu conformity
Kritik terhadap Strain Theory:
1. Terlalu
berkonsentrasi pada kejahatan ditingkat bawah secara hierarki ekonomi, teori
ini melalaikan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan menengah dan atas.
2.
Bagaimana mungkin suatu masyarakat yang sangat heterogen seperti Amerika
Serikat memiliki tujuan-tujuan yang disepakati setiap orang.
3. Banyak
juga orang-orang dimasyarakat lain diluar Amerika Serikat yang mempunyai sarana
terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan material tetapi mempunyai angka kejahatan
yang terendah, contohnya dua negara berkembang dan industri yaitu Jepang dan
Swiss.
Modes of Adaptions
Menurut
Merton ada beberapa cara yang berbeda bagi anggota masyarakat untuk memecahkan
atau mengatasi strain (ketegangan atau tekanan) yang dihasilkan dari ketidak mampuan mencapai sukses. Untuk
mengkonseptualisasi respon-respon yang bisa terjadi tadi, Merton mengembangkan
tipologi atau mode-mode adaptasi. Merton menyadari bahwa kebanyakan orang,
meskipun mereka memiliki sarana yang terbatas tidak melakukan penyimpangan.
Banyak orang tidak melakukan penyimpangan. Mereka menyesuaikan diri,
melanjutkan mencapai tujuan budaya berupa kesuksesan, dan percaya atas
legitimasi sarana-sarana konvensional atau institutionalised
means dengan mana sukses akan dicapai. Ini merupakan mode adaptasi pertama
yaitu conformity.
Merton
menggambarkan empat mode adaptasi yang menyimpang. Kebanyakan tingkah laku
kriminal, menurut Merton, dapat dikategorikan sebagai innovation, karena adaptasi ini mencakup mereka yang tetap meyakini
sukses yang dianggap berharga itu namun beralih menggunakan illegitimate means atau sarana-sarana
yang tidak sah jika mereka menemui dinding atau halangan terhadap sarana yang
sah untuk menemui sukses ekonomi tersebut. Pada sisi yang berlawanan, orang
beradaptasi secara ritualism terlihat
menyesuaikan diri (conformity) dengan
norma-norma yang mengatur
institutionalised means. Meski demikian, mereka meredakan ketegangan atau tekanan
mereka dengan menurunkan skala aspirasi-aspirasi mereka sampai di titik yang
mereka dapat capai dengan mudah. Dibanding mengejar tujuan budaya tentang
kesuksesan, mereka justru berusaha menghindari resiko dan hidup dalam
batas-batas rutinitas hidup sehari-hari.
Retreatism, pada sisi lain, membuat respon
yang lebih dramatis. Tertekan oleh harapan-harapan sosial yang ditunjukkan oleh
gaya hidup konvensional, mereka melepaskan kesetiaan baik kepada cultural socces goal maupun kepada legitimasi means. Mereka merupakan
orang-orang yang “are in society but not of it”. Mereka melarikan diri dari
syarat-syarat masyarakat dengan berbagai cara yang menyimpang, misalnya: alcoholism, drug addictions, psychosis,
atau vragancy (menggelandang atau mengembara). Bunuh diri tentu saja
merupakan penarikan diri paling puncak. Akhirnya, Merton menamai adaptasi
terakhir dengan Rebellion yaitu
adaptasi orang-orang yang tidak hanya menolak tetapi juga berkeinginan untuk
mengubah sistem yang ada. Terasing dari tujuan yang berlaku dan ukuran-ukuran
normatif, mereka mengajukan penggantian dengan satu perangkat tujuan-tujuan dan
sarana-sarana baru. Dalam masyarakat Amerika contoh dari rebellion mungkin bisa
disebut kalangan sosalis yang lebih memilih sukses kelompok dibanding sukses
individual dan dengan suatu norma yang mengarahkan distribusi kekayaan secara
merata dan sesuai kebutuhan dibandingkan sukses distribusi yang tidak merata
dan sesuai dengan hasil dari kompetisi yang kejam.
Pengertian
penjahat dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya:
a. Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau dari
aspek yuridis merupakan seseorang yang melanggar peraturan atau
undang-undang pidana telah diputus oleh
pengadilan atas pelanggarannya dan telah dijatuhi hukuman,dan dalam hukum pidana
dikenal dengan istilah narapidana. Selama belum dijatuhi hukuman, seseorang
belum dianggap sebagai penjahat. Asas ini disebut Presumption
of innocent (asas praduga tak
bersalah).
b.
Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau
dari aspek ekonomi, menurut Person, Penjahat merupakan orang yang mengancam
kehidupan dan kebahagiaan orang lain dan
membebankan ekonominya pada masyarakat sekelilingnya.
c.
Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek sosial, menurut Mabel
Elliot, penjahat merupakan orang-orang yang gagal dalam menyesuaikan diri
dengan norma-norma masyarakat sehingga tingkah lakunya tidak dapat dibenarkan
oleh masyarakat.
d.
Penjahat atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek religius, J. E. Sahepaty,
mengatakan bahwa penjahat adalah orang-orang yang berkelakuan antisosial,
perbuatannya bertentangan dengan norma-norma kemasyarakatan dan agama serta
merugikan dan mengganggu ketertiban umum. Sedangkan menurut Socrates, dilihat
dari aspek filsafatnya, penjahat merupakan orang-orang yang suka melakukan
perbuatan bohong (pembohong).
Dalam mencari sebab-sebab kejahatan,
kriminologi positif, dengan asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan
penjahat, perbedaannnya ada pada aspek biologik, psikologis, maupun
sosio-kultural. Oleh karena itu dalam mencari sebab-sebab kejahatan dilakukan terhadap narapidana atau bekas
narapidana, dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologiknya (determinis biologik) dan aspek kultural
(determinis cultural). Keberatan
utama terhadap kriminologi positif,
bukan saja asumsi dasar tersebut tidak pernah terbukti, akan tetapi juga karena
kejahatan adalah kontruksi sosial.
Dalam hal ini, dapat kita lihat
pelaku kejahatan disini terdapat 2 (dua) cara yaitu: Dapat dimulai berdasarkan
motif si pelaku atau berdasarkan sifat-sifat si pelaku. Untuk dua cara tersebut
di atas diperlukan suatu penelitian yang mendalam terhadap si pelaku, baik
sifat-sifat maupun motif perbuatannya tidak dapat disimpulkan berdasarkan apa
yang tampak keluar. Pembagian berdasarkan tipe-tipe si pelaku, dimana tidak
selalu dipisahkan kriteria sifat dan motifnya si pelaku.
Beberapa
klasifikasi dari si pelaku dikemukakan dibawah ini:
•
Berdasarkan Penelitiannya, Lambrosso mengklasifikasikan Pelaku
kejahatan dengan 4 (empat golongan) :
•
Born
Criminal, yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme, yaitu
adanya sifat hewani yang diturunkan oleh nenek moyang manusia.
•
Insane
Criminal, yaitu orang-orang yang tergolong kelompok idiot, embisil
atau paranoid.
•
Occasional
Crminal atau Criminoloid, yaitu pelaku kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus-menerus sehingga mempengaruhi pribadinya.
•
Criminal
of Passion, yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya karena
marah, cinta, atau karena kehormatan.
•
Dalam bukunya Criminology, Ruth Shonle
Cavan, membedakan tipe-tipe penjahat dalam 9 (sembilan) jenis yaitu:
penjahat-penjahat ringan dan iseng yang disebut Casual Offender dan
Occasional Criminal. Juga untuk tipe penjahat dari kelas pejahat, yang
menyalah gunakan jabatannya disebut The
white Collar Crime. Dan terakhir dari tipe orang-orang yang mengandalkan
mata pencahariannya dari kejahatan yang disebut The Professional Criminal dan Organized Criminal.
•
Ajaran tipe dari Mayhew dan Moreau, yang membedakan: Para penjahat Profesional yang
menghabiskan masa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan kriminal, dan para penjahat
Accidental yaitu yang melakukan
kejahatan sebagai akibat situasi lingkungan yang tidak dapat diperhitungkan
sebelumnya. Para penjahat yang ter5biasa yang terus-menerus melakukan kejahatan
karena kurangnya pengendalian diri.
•
Ajaran tipe dari Lindesmith dan Dunham, membedakan: Para pelaku Individual yang bekerja atas alasan
pribadi tanpa dukungan budaya, para sosial yang didukung oleh norma kelompok
tertentu dan dengan kejahatannya memperoleh status dan penghargaan dari
kelompoknya.
•
Ajaran dari tipe Gibbons dan Garrity, yang membedakan antara kelompok penjahat yang seluruhnya
orientasi hidupnya dituntun oleh kelompok pelanggar hukum dan kelompok penjahat
yang orientasi hidupnya sebagian besar ditunjang dan dibimbing oleh kelompok
bukan pelanggar hukum.
•
Ajaran tipe dari Walter C.Recless,yang membedakan
kedalam penjahat biasa, penjahat
terorganisir, dan penjahat profesional. Ketiga tipe ini mempunyai
persamaan yaitu pada umumnya cenderung menyangkut para peserta dalam kejahatan
berkelompok atau menggatung seseorang sampai mati tanpa melalui proses
pengadilan.
•
Pembagian dari Sellig dengan pangkal tolak bahwa suatu kejahatan dilakukan akibat
dari ciri watak si pelaku (Disposisinya) atau dari suatu kejadian psikis, langsung
menjelang atau selama dilakukannya perbuatan itu (kejadian senyatanya). Oleh
karena itu, pembagian ini secara ketat, tidak memiliki kesatuan pangkal tolak.
Selanjutnya Sellig dan Windler berpendapat bahwa para penjahat biologis (mereka
yang berciri fisik dan psikis) merupakan sekelompok manusia hiterogen yang
beraneka warna, yang tidak memiliki kebersamaan ciri biologis. Hal ini
mengakibatkan pembagian sebagai berikut: Penjahat profesional yang malas
bekerja, mereka terus melakukan kejahatan untuk menggantikan cara kerja yang
normal. Kemalasan mereka bekerja sangat menonjol dan cara hidup mereka asosial.
Termasuk dalam kelompok ini ialah para penjahat profesional dan para penjahat
karena kebiasaan serta penjahat-penjahat kecil yang malas bekerja (para
pengembara jalanan, para gelandangan, dan pelacur), para penjahat terhadap
harta benda karena daya tahan mereka yang lemah, lazimnya mereka dapat
menyesuaikan diri dalam masyarakat, bekerja secara normal, dan acap kali
pekerja yang cakap dan rajin. Namun mereka sulit menolak godaan dunia luar,
juga yang muncul dalam pekerjaan mereka.
•
Ajaran tipe dari Capelli penggolongan kejahatan itu
terjadi karena:
•
Faktor-faktor psikopatis dengan para
pelaku:
•
Orang-orang sinting
•
Bukan Orang-orang sinting yang
psikis abnormal
•
Faktor-faktor organis dengan para
pelaku:
•
Orang-orang yang menderita gangguan organis yang menimpa
mereka pada usia lanjut dan beberapa macam orang invalid atau orang cacat
•
Orang-orang yang menderita gangguan
organis sejak lahir atau sejak masih kecil, yang menyulitkan pendidikan atau
penyesuaian sosial mereka (para tuna rungu dan yang buta).
•
Faktor-faktor sosial dengan para
pelaku:
•
Para pelaku karena kebiasaan
•
Para pelaku karena kesempatan
(karena kesulitan ekonomi atau fisik)
•
Para pelaku yang secara kebetulan
melakukan kejahatan pertama, kemudian melakukan kejahatan yang lebih besar atau
suatu seri kejahatan kecil, sifat dari kejahatan harta benda bergantung
selanjutnya dari pekerjaan: pencurian oleh para pekerja dan pembantu rumah
tangga, penggelapan oleh personil administrasi dan para pegawai, perbuatan
curang pada pekerjaan paramedis, dan pada akhirnya terlepas dari semua
pekerjaan, menahan barang-barang yang ditemukan sebagai pemiliknya sendiri.
•
Para penjahat karena nafsu agresif,
mereka mudah tersinggung sehingga berbuat agresif (penganiayaan) atau
mengungkapkan secara lisan atau tulisan (penghinaan, pencemaran nama baik,
penodaan nama).
•
Para penjahat karena ketiadaan
penguasaan diri secara seksual, termasuk dalam kelompok ini hanya mereka yang
perbuatanya langsung memuaskan nafsu seksual atau hawa nafsu oleh karena mereka
tidak mampu menguasai diri mereka.
Pengertian
Korban
Dalam setiap kejahatan terdapat
pihak yang dirugikan baik secara material maupun immaterial, dikatakan
mengalami kerugian material apabila didalam perstiwa kejahatan tersebut ada
pihak yang hartanya berkurang ataupun hilang sama sekali, dan dikatakan
immaterial apabila didalam peristiwa itu ada pihak yang mengalami shock karena telah mengalami peristiwa
diluar dugaannya, dengan kata lain tidak berbentuk benda. Dalam hal
tersebut penderita kerugian biasa
disebut sebagai korban. Selain korban, keluaga korban juga termasuk pihak yang
ikut merasakan kerugian, terlebih-lebih lagi apabila korban mengalami
penganiayaan yang berujung kematian.
Sebagai pihak yang mengalami
kerugian seharusnyalah ada perhatian terhadap korban, dan menjaga agar semua
masyarakat terutama korban agar lebih mendapatkan perlindungan, karena
tidak jarang kita mendengar beberapa orang
disekitar kita yang mengalami pencurian atau penjambretan dan lainnya mengalami
untuk kedua kalinya terhadap kejahatan yang serupa. Situasi dan kondisi pihak
korban dapat merangsang pelaku untuk melakukan suatu kejahatan kepada
seseorang. Daerah rawan umumnya adalah tempat-tempat yang ramai berdesakan,
tempat-tempat yang sunyi dan minim penerangan, serta tempat-tempat yang
kurangnya penjagaan. Kejahatan memang merupakan hal yang harus ada dan tidak
bisa dihilangkan, akan tetapi usaha pencegahan dalam rangka menanggulangi kejahatan-kejahatan
tersebut haruslah tetap dilakukan agar tercipta ketentraman dan keamanan dalam
masyarakat. Didalam Undang-Undang perlindungan Saksi dan Korban, pada pasal 1
butir kedua bahwa korban dinyatakan
sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pengertian keluaga
korban pada butir yang kelima menurut undang-undang ini adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan darah dalam garis lurus, atau mempunyai hubungan darah dalam
garis menyamping sampai derajat ketiga, atau mempunyai hubungan perkawinan.
Sedangkan didalam Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada pasal 1 butir ketiga, korban
diartikan sebagai orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan
dalam lingkup rumah tangga, dengan korban dan atau yang menjadi tanggungan
saksi dan atau korban. Keluarga korban hanya disebutkan tentang orang-orang
yang menjadi kelurga korban dan yang menjadi tanggungan korban, yang juga
mencakup orang-orong yang mengalami kerugian karena mencegah terjadinya
kejahatan tersebut.
sayang sumber literatunya tidak dicantumkan :)
BalasHapus